Thursday, January 21, 2010

N.I.L.A.I

Rasa jenuh, saya kira secara sudah timbul dalam diri para koas yang sedang dalam tahun trakhirnya di persekolahan ini. 6tahun (waktu yag ditempuh mahasiswa 'normal' di tempat saya) memang bukan waktu yang sebentar. Dan sebagai manusia sudah takdirnya dihadiahi oleh rasa bosan. Secara survey, yang ga resmi tentunya, saya dapati teman teman yang terinklusi dalam kategori diatas secara rata rata dirasuki elemen sudah males dengan rutinitas koas mereka. Idealis yang pada tahun pertama kami kuliah, menjadi dokter yang yahud (dalam arti ilmu, sosial, pokonya positif banget dah), sekarang tergeser (sedikit) atau terkotori dengan mental "yang penting lulus". Banyak hal, selain waktu, desakan keluarga, iri terhadap teman teman se-SMA yang sudah pada bekerja ato lanjut ke luar negri, sampai alasan muak dengan bau rumah sakit.

Mental "yang penting lulus ini" tentu memiliki kemungkinan yang dapat merugikan mental (seharusnya) "menjadi dokter umum yang profesional". Dari hipotesa saya, penyebab masalah tersebut berkaitan dengan teori saya berbunyi:
"koas itu butuh: 1.ilmu(30%) 2.kebejan/keberuntungan (70%)"
dan lanjut ke teori berikutya bahwa, hubungan kelulusan dengan prestasi, yang kita kenal dengan 'nilai'. Kita sekolah, masuk kelas, mengerjakan kewajiban mengerjakan tugas, dan berhak mendapat nilai tersebut. Saya memang tak mengelak, kita harus memiliki 'strategi' khusus untuk mendapatkan nilai yang optimal, "minimal lulus", menurut rata rata teman.

Tapi, pada satu sisi , saya tak cocok dengan ke-alpaan kami terhadap satu hal terpenting, yang saya kira sebagian dari kami seolah melupakan hal tersebut. yap, menjadi dokter yang profesional, kompeten secara ilmu dan secara sosial.
Dan ini bukan salah dari para koas saja. Mari kita ambil contoh, di salah satu bagian besar di RS.Kariadi (yang uda pada koas pasti bisa menebak). Dari awal kami masuk dan menjalani stase tersebut kami seolah dididik menjadi 'koas yang bener gara gara takut ujiannya dapet dosen susah', bukanny membentuk menjadi 'koas yang bener untuk nantinya menjadi dokter yang kompeten sebagai dokter'. Jujur saya selama dua bulan disana teriritasi dengan paradigma tersebut, semoga saya salah.

Sisi lain lagi, penilaian yang subjektif selalu saja menjadi bumbu bumbu keseruan pada minggu minggu ujian. Absolut, beda dosen, otak sama, nilainya bisa berbeda. Tetapi menurut saya hal ini adalah wajar dalam dunia pendidikan.
hmm, bagaimanapun, harapan saya, dengan hanya demi 'nilai', jangan sampai kita semua merusak nilai luhur dari mimpi...sepakat kan ya?

1 comment:

dai said...

nice post mil.

Iya, pada akhirnya setelah melewati suatu stase, kita akan bertanya: eh, aku udah dapet apa aja ya?
dan kurasa jawabannya mungkin akan segera kita tahu nanti pas kompre.
Oh, atau pas ditanya teman atau saudara, "aku kok mengeluh ini... anu... itu apa ya? obatnya apa?"

semangat jadi dokter, bukan (cuma) jadi lulusan bernilai bagus. amin.