Friday, January 20, 2017

Mr.Nyeri

Hai kawan, saat menulis ini sudah 2 minggu post operasi pngangkatan hemoroid dan kantung abses di an*s saya hehehe
Ada ada aja ya pnyakit saya, Alhamdulillah slalu dikasi ingat sama Pemilik saya =]

Sekilas mengenai 'nyeri'.

Secara ilmu patofisiologi medis, rasa nyeri berarti sebuah diskripsi berdasar pengalaman hidup yang sangat subjektif dari setiap individu terhadap sinyal yang diberikan tubuh yang secara umum disebabkan oleh kerusakan jaringan/proses aktifnya reseptor nyeri karna impuls tertentu. (ini pengertian berdasar pengetahuan saya pribadi, pas nulis ini kuota internet abis jadi ga bisa nyari sumber, hehehehe)

Rasa nyeri, secara antropologi, menimbulkan banyak gambaran yang dihubung-hubungkan dengan dewa kegelapan. Contoh saja konsep 'neraka' yang pertama muncul di mitologi Yunani, underworld adalah tempat yang penuh dengan kengerian, rasa sakit. Peradaban lain lalu memiliki konsep yang mirip mirip tentang dosa-siksaan-nyeri, pradaban mesir kuno memunculkan paham timbangan baik-jahat, dewa kematian, dll,,(kalo diceritain detil panjang banget, males). Jadi presepsi nyeri (karna siksaan) adalah yang membuat spesies manusia menghindari hal-hal yang dianggap negatif, hidup dengan luhur, kalo bisa tanpa nyeri sampai abadi setelah mati. Dan sebagian penemuan manusia, mungkin sepertiganya adalah di bidang medis, penyakit adalah sepaket dengan kehidupan, dan adalah rasa nyeri sebagai indikator. Ribuan tahun terus berkembang, dan membuat rasa 'nyeri' adalah sesuatu yang sangat ber-jasa pada perkembangan peradaban (yang menurut saya) diatas perasaan lain seperti rasa senang, atau rasa asin. 

.....

Tubuh adalah kumpulan organ yang tersusun dari jaringan yang kompleks. Satu kesatuan dan komperhensif, jika ada sesuatu yang diluar proses fisiologis, maka akan berakibat respon untuk menjadikannya se-fisiologis mungkin. Prosesnya yang membuat rasa nyeri muncul, hampir bisa dikatakan derajat nyeri sebanding dengan derajat 'kerusakan' yang timbul baik dalam proses awal atau selanjutnya untuk kembali ke level fisiologis tadi. (walaupun rasa nyeri tergantung dari densitas reseptor nyeri di lokasinya, misal kulit wajah dan selangkangan yang tinggi daripada kulit bagian lain). Kerusakan tadi bisa sangat macam-macam, contohnya: hancurnya sel yang bukan karna proses apoptosis, tekanan tinggi yang menyebabkan perenggangan ikatan antar sel dilanjutkan oleh pernggangan kapiler berlanjut awal proses infark/kekurangan pasokan sirkulasi sel-nya. Hal hal tadi bisa sangat dihubung-hubungkan ke semua hal yang menimbulkan nyeri. Dan tubuh kita yang ajaib ini pun memiliki proses untuk mengontrol rasa nyeri tersebut, salahsatunya dengan pengecrotan endorfin / morfin endogen ke dalam sirkulasi tubuh jika nyeri sudah di ambang tertentu. Dan (hampir semua) terapi medis itu berdasar gejala dan tanda berupa rasa tidak nyaman, iya, berupa nyeri.

Bagaimana jika seorang tidak bisa merasakan nyeri? (*diluar proses medikasi anestesi atau kondisi iatrogenik tertentu). Bisa dipastikan tak ada kontrol terhadap dirinya, jika kita ambil contoh ekstrim: kaki diabetik, pada penderitanya, salah satu komplikasi kronis berupa neuropathy distal yaitu kemampuan sensorik di ujung tubuh (kaki) berkurang sampai hilang, menyebabkan luka di kaki yang tidak bisa sembuh sampai membusuk tanpa merasa apa apa selain mencium bau busuk pada kaki dirinya sendiri (kondisi ini diperparah vaskulopati dan imunodefisiensi, dan lain lain). Mungkin secara kasar bisa di analogikan dengan kondisi umum jika tak ada kontrol terhadap bayangan nyeri(hukuman) akibat dosa (misal) mungkin manusia biasa (seperti saya) enak aja gitu ngelakuin hal negatif, bebas sampai melanggar norma apapun. Baik , ini salah satu contoh saja.
........

Baik, mungkin narasi diatas sangat melanglang tanpa tujuan. Kita ambil saja kesimpulannya. Untuk saya, nyeri adalah teman, seperti Kapten Tsubasa terhadap bola. Kita harus bisa akrab dengan nyeri, mengerti bahwa rasa 'nyeri' ini berperan besar terhadap sejarah, merupakan kontrol terhadap kehidupan, dan perlu banget dimengerti, obat pereda nyeri tidak boleh dibiasakan dikonsumsi alias harus sesuai indikasi ekstrim. Karna kalo dikit dikit ga nyaman tanpa dinikmati dulu langsung konsumsi obat anti nyeri lalu ngrasa enakan, niscaya hal tersebut lebih kepada efek placebo. (Hipotesa pribadi). Selain itu reseptor nyeri di setiap inci tubuh kita bakal berkurang fungsinya, hingga jika diberi kondisi nyeri yang 'beneran' nanti, reseptornya ga terlalu sensitif dan membutuhkan anti nyeri yang lebih tinggi tentu dengan paketan efek samping obat yang tinggi juga, jadinya ya ngrusak fisiologi tubuh. Oke kembali lagi, ambang nyeri setiap individu berbeda, tergantung pngalaman terhadapnya, bagaimana individu tersebut menikmati dan berhubungan baik dengan si mr.nyeri ini. 


Oke saya mulai gajelas karna mulai memanusiakan myeri, sebaiknya sekian dulu. 
Terimakasih =D


Wednesday, January 04, 2017

Kenapa kanker otak?

Rasanya sebagai dokter yang pengetahuannya sungguh dangkal, boleh juga kan ya share tentang kesehatan? 

Tulisan ini saya bikin saat duduk di ruang makan di rumahsakit khusus, maaf, penyakit daerah anus. Hehe Tadi pagi saya baru masuk kesini untuk rawat inap dalam rangka operasi pnyakit yang tiba tiba muncul dan demi kelancaran jadwal studi dan terutama jadwal event full marathon saya (dua bulan lagi), walaupun tidak terlalu mengganggu, saya putuskan untuk di terapi operasi karna ada resiko penyakit bertambah parah jika dibiarkan. Pengalaman ter-akward yang pernah saya alami selama ini ketika bukan hanya di RT (rectal toucher), tapi di USG intra rectal alias ada alat probe yang dimasukkan ke lubang saya, anjay. Dan tadi pagi si prawat (standar) cantik, mencukur rambut di sekitar lubang saya itu. Hahahhahahahahahaha 

Semoga ini terjadi skali aja seumur hidup saya, dan ini sangat berarti bagi saya sbagai dokter umum yang pasti pernah memeriksa RT ke pasien. Betapa hebatnya pasien yang bisa 'rileks' saat diituin. #respect

Iya, kesehatan adalah salah satu nikmat yang paling yahud diberikan Sang Pemberinya. Dan bukan hanya pada diri, tapi pada keluarga atau orang dekat yang pasti kena dampaknya jika kesehatan terganggu, jadi secara naluri, manusia normal harusnya jaga diri(kesehatan). Dan caranya itu tergantung pemahaman individu terhadapnya, ada yang seperti saya, jaga output input psikis natural tanpa suplemen apalagi obat. Ada juga yang punya pemahaman: sehat itu ya minum suplemen semaksimal mugkin, dan ga boleh ada gejala apapun di tubuh alias dikit dikit ngobat, dilemari rumahnya pasti penuh dengan pil dan macem macem macem macem obat yang seperti di stok. Ada juga yang tipe, nanti aja deh jaganya, belum sakit ini, misal para perokok yang dalam hatinya selalu tersirat "mulai besok saya berhenti". Terserah sih.. =]

Alangkah bersukurnya ketika hobi seorang berkaitan erat bukan hanya dengan kesehatan mental tapi juga jasmani. (Kebetulan menimpa saya), tapi apakah hobi olahraga sepenuhnya karna ingin sehat? Tentu saja tidak, hobi berhubungan dengan keegoisan manusia untuk sekedar merasa puas secara psikis, jika tak percaya monggo tanya aja yang pada ekstrim lari/speda/atlet, mereka pasti ga cuma nyari sehat tapi nyari titik kenyamanan diri setelah mencapai kenikmatan khusus saat melakukan hobi itu. *Hehe ini kok tulisannya ga ngarah gini ya*

Saya sendiri sejak kecil akrab dengan penyakit. Saat Sekolah menengah pertama, mata kiri saya terkena koroiditis karna parasit toxoplasma, terapi 6 bulan obat plus berakibat kecacatan lanjut mata kiri saya. Pas itu sempet drop secara mental karna awal mata kiri cacat sempat ga bisa main basket, sekolah mata satu dan pesimis tentang cita cita saya sbagai scientist (ciee kamil). Tapi alhamdulillah, itu ga terlalu berpengaruh karna makula perifer di retina kiri saya beradaptasi dan saya malah diplot sbagi shooter di tim basket SMA juga tim inti di fakultas saya saat kuliah. Dan kegalauan sempat hadir lagi saat saya ikut seleksi sekolah spesialis bedahsaraf, tapi atas ke-objektifan dan kebijaksanaan tim seleksi saya akhirnya lolos untuk mengambil sekolah itu, walaupun saya cacat seperti itu. *susah dijelaskan*

Penyakit hebat saya yang lain, yaitu tumor yang selalu ada di bungkus saraf punggung saya. So far sudah dua kali operasi di tempat yang sama di level vertebra thioracal 2-3-4 , ramus posterior nervus spinalis sinistra saya (maaf pake bahasa latin, susah pake bahasa indonesia hehehe). Dan gejala itu muncul lagi blakangan ini, barusan terdiagnosis, insyaAllah kalo lancar saya akan naik meja operasi lagi pertengahan tahun ini untuk pengangkatan tumor yang sama (disisi yang beda). Kenapa tengah tahun dan bukan sekarang? Hmmm bukannya saya sok sok tahan dengan gejala nyeri yang menerpa lokasi tumornya, bukannya saya sok sombong tumornya ga akan kompresi sumsum tulang belakang saya sampai saya lumpuh, tapi ini karna prioritas lain (keluarga) dan secara medis masih bisa "ditunggu" untuk dioperasi lagi. Cuma butuh tahan aja nyerinya. Sekali lagi, saya anti obat, jadi nahan nyerinya ya pake nafas , ngeluarin endorfin (morfin endogen) secara optimal hehehe,
Trust me, it works 
*gaya bicara iklan L-Men*

Saya pun sudah bekerja sbagai klinisi (2008-2010 sebagai koas di RS.Kariadi semarang & 2011-2015 sebagai residen di RS.Sutomo surabaya), iya kira kira total 6tahun. Saya pun aliran yang mengakrabkan diri dengan pasien dan keluarganya. Mungkin karna pengalaman sendiri bahwa sakit itu bukan cuma individu si pnyakitan itu sendiri tapi juga keluarganya. Sepaket. Jadi tugas dokter pun adalah mengelola si pasien dan si keluarganya. #prinsip

Atas dasar itu pula, menjadi faktor keputusan saya untuk mendalami salah satu bagian kecil di bidang sekolah saya.
Satu waktu saat saya residen dahulu, pas saya jadi penanggung jawab poliklinik bdahsaraf, datanglah suami istri dari kota terdekat surabaya, membawa beberapa hasil mRI kepala sang pasien (si suami). Saat itu si suami "cuma" mengeluh pusing dan kalo ga salah masalah bicara (apasia motorik), MRI menunjukkan adanya gambaran keganasan. Saya secara pelan-pelan menerangkan kepada keluarga dan pasien secara konkrit sesuai kaidah edukasi secara medis. Saya kasih rujukan ke rumahsakit terdekat rumahnya, saya hubungi ahli bedahsaraf di rumahsakit tersebut lalu pasien pergi membawa entahlah itu solusi atau apapun yang pasti kenyataan bahwa si suami terjangkit kanker otak dan waktunya secara biologis tak lama walau diterapi maksimal. Kira kira 4-5 bulan setelahnya saya dapat sms dari si istri, saya lupa detilnya, intinya berisi: " terimakasih, benar kata dokter, suami saya sangat cepat buruknya dan meninggal sesuai prakiraan, tapi saya masih ga sangka secepat ini, bagaimana nasib saya dan anak anak saya selanjutnya saya masih belum tahu".
...
Sekilas isi smsnya cuma sebatas info ke saya, bahwa si pasien meninggal, bukan minta pertanggungjawaban saya, bukan minta saya untuk mengawini janda. Bahwa sms itu sungguh terlekat ke kepala saya bahwa, apa yang saya bisa lakukan untuk pasien lain seperti si suami tadi. 

Kanker adalah musuh utama di kehidupan antropologi homosapiens sabagai pengontrol populasi. Pnyakit yang tidak menular, tapi tidak bisa dicegah timbulnya, sangat acak, mematikan, cepat, ngobatinnya aja bikin si pasien dan keluarga, bahkan teman-teman dekatnya menderita. 

1 dari 5000 manusia secara data menderita kanker otak setiap tahun. (wHO) Kalo diitung estimasinya jika pasien itu meninggal setahun, maka di Indonesia yang penduduknya 250juta, maka setiap tahun ada 50.000 orang yang terjangkit lalu meninggal cepat di Indonesia. Kemungkinan kesembuhan: nihil. Harapan hidup dalam 5 tahun: rendah , itu pun dengan terapi lengkap (termodern), oprasi plus kemo plus radiasi *silahkan search sendiri tentang glioma, wikipedia aja uda lengkap banget, ini musuh sluruh dunia*

Di indonesia kita tercinta yang miskin data, se-pengalaman saya di lingkungan bedahsaraf saya, glioma (kanker otak primer) masih merupakan momok. Standar global yang mengharuskan diagnosis molekuler untuk terapi yang benar benar tepat supaya angka survival meningkat BELUM SAMA SEKALI bisa jalan di Indonesia. Ketahuan-oprasi-kemo-radiasi-sehat bbrp bulan-kambuh-mati/oprasi lagi. Knapa di Indonesia bisa begitu? Fasilitas ada, sistem bisa diusahakan, tinggal tenaga yang mau belajar 'lebih'. Kejar-kejaran. 

Iya, itu yang bikin saya memutuskan mendalami musuh itu, research saya selama 4tahunan disini. Lanjut mendalaminya terus di center bedahsaraf di indonesia. Demi pasien di Indonesia insyaAllah.

Doaken ya!