Thursday, November 28, 2019

Hari yang biasa



Sebenernya hari ini sudah di ekspektasi sejak 4 tahun lalu, bahwa ga perlu otak jenius, gak perlu pengorbanan yang dramatis, ga perlu usaha yang super keras. Cuma perlu biasa aja untuk beradaptasi.

Kita hanya jalanin semuanya dengan biasa saja, dengan hati yang tidak berlebihan, dengan mengatasi masalah-masalah yang biasa timbul dan melawan hal-hal yang biasa menjadi sukaduka di rantau. Adaptasi seperti halnya manusia biasa lakukan setiap saat.

Semuanya berjalan natural, keseruan mendalami hal-hal yang baru, menemukan fakta dan pengalaman yang mindblowing, atau semacamnya. Bertemu dan berpisah dengan orang-orang baru yang sebagian saja kita bisa ingat namanya. Basa basi hingga berbagi emosi.

Memeluk anak saat mereka menangis karna mengantuk, pergi ke acara kenaikan kelasnya, merapikan mainannya, mendiskusikan pengeluaran bulan ini dan bulan depan dengan ibunya, merencanakan menu makan siang, merencanakan taman mana yang akan kami datangi untuk piknik di akhir pekan depan.

Lalu sang waktu seperti ambigu, di satu sisi dia berlari seperti Eliud. Lalu jika kita menengok, dia sperti berhenti dan berpura-pura tak melihat.
———— 


Tergantung garis cahaya yang masuk ke retina, bagiku, saat ini cuma sekedar berdiri di garis start sebuah ultramarathon yang baru akan mau mulai. Bersukur karena terpilih melalui balot. Masi ada ratusan kilometer di depan yang entah ada apa lagi karna kabutnya tidak tembus pandang. 
Tapi setidaknya, aku sekarang jadi lebih tahu, kalo aku tidak tahu.

#phdjourney 







Wednesday, September 11, 2019

mengelola egosime

"People sometimes sneer at those who run every day, claiming they’ll go to any length to live longer. But I don’t think that’s the reason most people run. Most runners run not because they want to live longer, but because they want to live life to the fullest. If you’re going to while away the years, it’s far better to live them with clear goals and fully alive than in a fog, and I believe running helps you do that. Exerting yourself to the fullest within your individual limits: that’s the essence of running, and a metaphor for life—and for me, for writing as well. I believe many runners would agree.” 
 Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running

Di dalam konteks ilmu filosofi, sifat egois dalam setiap manusia adalah fitrah. Setiap tindakan manusia dalam sadarnya pasti berlandaskan motivasi terhadap dirinya. Ego, dalam definisi adalah ‘Aku’. Lalu egoism ini dibagi menjadi psychological egoism dan normative egoism, berlawanan dengan yang disebut althurism, bla, bla bla, lalu di dalam teks-nya menjadi hal yang sangat rumit untuk di mengerti oleh awam seperti saya. Lalu kenapa saya ngomongin ini ya? Hehe

Kita semua adalah orang-orang egois. 

Kita terbangun pada subuh untuk sholat, misalnya, karna takut diri kita berdosa menurut pemahaman akan keyakinan spiritual kita.
Bangun siang-siang, karena pengen istirahat lebih. Memaksa istri dan anak-anak untuk mengerti kondisi kita yang memang kurang tidur, mungkin.
Kita belajar dan melakukan segalanya untuk menyelesaikan sekolah kita. Ada yang tujuannya supaya dapat nilai gaji optimal nantinya dengan titel yang di dapat, atau sebagian yang melakukannya untuk kepuasan hati. 
Kalo kata salah satu guru saya: “Dasar Bedes (manusia) egois”.

Bahkan, membelikan bunga untuk pacar, membawakan eskrim kesukaan anak saat pulang ke rumah, memberi donasi untuk orang yang membutuhkan, juga termasuk egois. 
Menurut saya, semua ini jauh dari sifat alturisme, karena saat melakukan hal untuk orang lain pun, pasti ada rasa di dalam diri yang merasa ‘puas’ akan senyum orang lain. 

Dalam biologi molekuler, semua hal yang terjadi di dalam manusia, adalah akibat dari proses unit terkecil dari sel manusia berupa gen. Sampai saat ini, ilmuan sudah secara komplit mendata tiga miliar kode gen dalam inti sel manusia. (meski hanya sebgaian kecil yang sudah ‘ketahuan’ fungsiya) Gen miliaran spesies manusia dia tas bumi ini adalah sama, kembar, lalu apa yang membedakan setiap individu nya? Selain polymorphism (saya sangat yakin anda tidak memerlukan penjelasan detailnya), setiap gen memiliki kualitas ekspresi yang berbeda yang secara kompleks mengakibatkan perbedaan (sifat) setiap individu. Bahkan 2 anak yang kembar identik pun bisa sangat berbeda sifatnya, perilakunya, karakter-karakter nya, dan tingkat egoismenya.

Berlari adalah salah satu produk dari sifat egoisme manusia. 
Ngapain coba, lari jauh? Simpelnya begitu. 

Menurut saya, egoisme malah bisa menjadi dasar yang positif jika dikelola dengan baik, dengan matang, penuh strategi, praktis, dan ditambah pandangan yang visioner terhadap kita sendiri. 

Kita ambil simulasi kasusnya, mendaftar event race full marathon karena sebuah motif egois misal membuktikan kepada lingkungan kita kalau kita ini ga mau kelihatan lemah. 
Disini, si orang ini harus mengawalinya dengan memilih waktu dan event yang setidaknya ideal untuk kemampuannya. Baik fisik, ekonomi, dan sudut pandang kemampuan penyokong lain. Taroh saja, yang lokasi event nya di satu pulau dengan tempat tinggalnya, event dengan race organizer yang sudah terbukti mumpuni buat jadi host untuk peserta race-nya, dan memilih timeline yang sesuai dengan jadwal persiapan, cuti kerjaan, dan sebagainya. 
Lalu memulai semua persiapannya dengan optimal, memulai jarak lari dan pembentukan fisik secara pelan tapi kontinyu dengan mempersiapkan trainingplan yang khusus dirancang untuk pribadi. Dan saat ini, tidak sedikit komunitas lari yang punya relasi dengan pihak profesional yang memang kompeten untuk melatih segala jenis pelari.
Tiba saat race, memiliki attitude sebagai pelari juga menjadi esensial, ini pun untuk ego kita, misalnya, berlapang dada kalo memang merasa tidak bisa menyelesaikan race di bawah cut off time atau gagal menembus target waktu tertentu ,dan menerima semua akibatnya untuk menjadi dasar metafora kita selanjutnya. 
Saya sepakat dengan Pak Murakami, yang menyatakan kalau semua pelari itu motif dasarnya bukan untuk kesehatan, tapi mereka berlari untuk pemuasan ego-nya. Karena dengan berlari, kita bisa lebih mengelola diri, mengelola ego.

Thursday, December 13, 2018

2018 Journal (1): pulang sebentar biat ngecharge jiwa.

Sejak merantau jauh kemari (Jepang), liburan ke tanah air itu bagai mimpi, ngebayanginnya aja udah senang. Kalau dihitung, kepulangan saya ke Indonesia Oktober-November kemarin itu adalah mudik pertama saya dalam 3 tahun terakhir. Saya sengaja merencanakannya jauh jauh jauh jauh hari banget, karena ini merupakan mudik dengan anak-anak untuk pertama kali. Walau bayangin bebek goreng itu indah, tapi bayangin keribetan perjalanan panjang bersama kiana (3 tahun) dan kai (17 bulan) itu juga sesuatu ya, hehe.

Perjalanan panjang
   Kagoshima, kota kami disini , sangat jauh dari pusatnya Jepang (sekitar 1000an km dari area Kanto), maka kami memilih Korean Airlines sebagai penerbangan ideal Kagoshima-Incheon-Jakarta dengan total perjalanan di atas pesawat 10.5 jam plus transit 2.5jam di Incheon. Tiket pesawatnya mungkin relatif murah untuk sekedar Jepang-Indonesia pulang pergi. Tapi karena saya total ber-4, jadinya kalo dirupiahin sekitar 30 juta-an rupiah. dan estimasi kehilangan "gaji" beasiswa disini (karena pergi lebih dari satu bulan) adalah sekitar 20juta-an rupiah. Soal budgeting ini yang sebenernya jadi alasan utama kenapa kami baru pertama kali pulang setelah 3 tahun merantau. Bukan karena terinspirasi lagu bang Toyib.
Diatas pesawat, kami (terutama istri) sepertinya melalui waktu-waktu tersulit dalam hidupnya, Kai yang masih menyusu tapi badannya uda lumayan panjang dan tidak cukup di basinet bayi dan tidak dapat kursi, sparo perjalanan cukup rewel karena tidak nyaman. mengakibatkan mamanya yang lumayan kelelahan tidak bisa nyaman juga. Ditambah si Kiana yang rewel bosan juga.
Perjalanan pulang Jakarta Kagoshima yang kebetulan merupakan penerbangan tengah malam, relatif tidak serewel perjalanan siang saat dari Jepang-Indonesia, juga karena persiapan kami lebih matang dengan bantalan kaki yang bisa membuat Kiana tidur spanjang penerbangan (dan sebenernya bantal udara buat kaki ini dilarang oleh maskapai, tapi sekali itu dimaklumi oleh kru pesawat, saya terimakasih banget lho ini, anyang  haseo! wkwkwk). Kesimpulannya, untuk flight panjang bawa anak, lebih baik yang overnight-flight.
Tapi pada akhirnya saya dan istri bahagia banget, problem perjalanan memang sesuai ekspektasi alias ga ada masalah bagasi atau masalah imigrasi, atau masalah lainnya. we had save safe flight.

Rumahnya Banyak
  Selama pulang Indonesia kemarin, kami hidup "nomaden" karena nebeng sana-sini. Jadwal kami adalah: Jakarta 4 hari- Surabaya 17 hari, Bali 5 hari, Semarang 15 hari, Jogja-Magelang 5 hari, Semarang lagi 2 hari, Surabaya lagi 2 hari, Jakarta 3 hari. Semua nebeng di rumah sodara (kecuali pas di Bali dan MagelangJogja kami tidur hotel). Transport bervariasi antara pesawat, kreta dan nyetir mobil. Semua perjalanan kami ber-4 ini sepaket alias slalu bareng dan berbagi megangin anak-anak. Karena adaptasi lingkungan terutama karena suhu dan pindah-pindah tempat nginep, kami mengalami gangguan kesehatan secara gantian, sebenernya sesuai ekspektasi , gejala flu ringan sampai demam (saja) tanpa masalah berat lain. Memang cukup melelahkan (secara fisik) sih ya semua ini hehehehe, tapi skali lagi, Alhamdulillah ga ada masalah besar.
Dan walaupun kami banyak menggugurkan bucketlist kami terutama soal ketemuan sama temen-temen dan sodara. Alias ga smuanya ditakdirkan jodoh bisa ketemu karena adugile rasanya liburan ini liburan dengan jadwal terpadat yang pernah kami lalui, terutama untuk ngatur ketemuan sama handai-taulan. Dan setelah berhasil ketemuan itu kita slalu ngrasa betapa berharganya setiap momen hidup dan ketemuan langsung.
Kesimpulan kemarin: liburan mudik hampir 2 bulan itu pas banget sibuknya! kalo sebulan anjis sibuknya, kalo 1-2minggu itu untuk supersaiya saja.

Banyak hal "lain"
 Saat baru sampai Surabaya, pagi-pagi ada kabar soal meninggalnya pakde saya karena kecelakaan. Cukup menghenyakkan karena beliau adalah pakde terdekat saya. Dan kami belum sempat bertemu (baru rencana ketemuan November) tapi takdirnya beliau meninggal dahulu. Kamipun saat itu bergegas ke Semarang 1 malam untuk melayat. Satu sisi walau kondisi berkabung, keluarga besar kami jadi berkumpul di rumah duka, dan justru jadi ajang silaturahmi bahkan banyak saudara dari keluarga besar saya yang sudah puluhan tahun tidak ketemu datang.
 Saat kepulangan kembali ke Jepang sudah mendekat, saya dan genk SMA saya, (mereka adalah sahabat-sahabat saya) yang sulit banget nemu waktu untuk bertemu, akhirnya ditemukan dalam rumah duka pula. Anak dari salah satu sahabat saya meninggal mendadak (usia bayi), dan kami semua bertemu di rumah duka. Kok rasanya gini ya.. Betapa semua ini diatur semisteri ini.

Pelukan demi pelukan, senyum demi senyum, orang lama yang tidak berubah dan sudah berubah, ratusan cerita soal kabar terkini soal warung di pojokan, jalanan yang sudah jadi satu arah, resto dan kafe sebagai identitas baru di Semarang dan Surabaya. Makanan enak yang tak ada habisnya sampai rasanya tidak pernah perut ini terasa lapar. Suasana kacau jalanan saat menyetir atau berlari di kota sambil nostalgia memungut kenangan. Rasanya terlalu nyaman. terlalu. Jadi lumayan paham soal definisi dari "rumah".

Rasanya waktu panjang yang saya pakai untuk liburan ini, Uang yang dibayar dan dipakai untuk smua ini, waktu-waktu sulit terutama bepergian bersama anak-anak kami, dan semua hal yang secara materi kami buang dan kami pakai, rasanya sangat pantas, sangat pantas.

Tidak sedikit yang bertanya, apakah saya akan terus di Jepang nanti, kalo ditanya nyaman, saya nyaman banget disini karena mungkin fase adaptasi sudah dilewatin. Namun saya dengan refleks selalu menjawab, saya pasti akan pulang ke Indonesia, ke rumah saya. Saya tahu itu.

Hati saya ini hati yang biasa, yang bisa mellow juga, yang ringkih seperti kaca yang tipis. Berlama-lama di rantau itu menurut saya tidak membuat hati ini tambah kuat dan tebal. Semakin lama disini saya semakin ringkih dan semakin tahu kemana saya akan pulang, rumah saya yang mana. Setiap waktu , setiap nyawa, adalah taruhan ketika saya jauh dari rumah, jauh dari sahabat dan keluarga saya. Meninggalnya pakde saya, meninggalnya anak sahabat saya, membuat saya berkali-kali takut tidak bertemu orang-orang yang sudah menjadi bagian rumah saya, yang membuat saya ada sekarang.
Alhamdulillah saya sempat memeluk nenek-nenek saya yang masih ada, paman, bude, tante-tante saya, dan bukan hanya orang-orang tua, smua orang ga tau juga kapan habis "waktu" nya. Persis saat saya tahun lalu yang kayanya dekat sekali dengan kematian. Kita ini mahkluk sangat kecil, egois dan sangat tidak berdaya.

Kita tak pernah tahu, dan ga ada pilihan selain memeluk semua momen di hidup kita secara detail. Merasakan denyut setiap pagi, setiap udara dingin menusuk di musim dingin, setiap hujan badai di bulan Desember.

Hidup rantau itu mungkin seperti menyelam. Melihat batu karang dan keindahan beragam jenis keindahan lain dibawah laut. Tapi kita sadar itu bukan rumah kita, pada saatnya kita harus kembali ke rumah kita di darat. kembali dengan kekacauan di darat yang selalu kita rindukan tanpa sadar.


hehe kok saya jadi terhura ya haha








Thursday, November 22, 2018

Full marathon ter-Melankolis



Full marathon adalah berlari sejauh 42.195 kilometer. Secara angka iya, tapi scara fisik bukan dua kali half marathon atau 4.2kali berlari 10km. Tubuh manusia normal memang de-desain untuk beraktivitas dan tidak diam. Juga dengan tubuh manusia yang yang sudah jatuh bangun dengan banyak penyakit, misal seperti otot diafragma yang menjadi tumor dan diganti separonya, paru kiri yang tidak utuh karena dibuang sebagian, ditambah otot-otot punggung yang dibuang beserta sebagian tulang belakangnya. Cacat? Iya. Tapi tetap, badan ini de-desain untuk beraktivitas (biasa).
Bagi orang normal, full marathon adalah olahraga ekstrim. Umumnya harus dipersiapkan 3-4 bulan, itu saja untuk target hanya ‘menylesaikan’. (Kecuali manusia yang berbakat dan terbiasa memiliki endurance diatas rerata). Kenapa ekstrim? Karena taruhannya adalah nyawa.
Awalnya pikiran saya seperti ini: Manusia itu lucu, jika diberi pilihan (oleh-Nya) penderitaan, entah nyeri secara fisik atau psikis, umumnya tidak mau. Tapi kalo ada hal-hal ekstrim seperti marathon tadi: menyiksa secara fisik, membuang waktu bulanan untuk latihan, bayar, cuma dapet medali dan foto-foto, ga dapet podium juara, nyeri, dll dll (intinya nyiksa dirilah) ga sedikit yang gandrung.
Konsep tadi itu buyar setelah ada movement “no plan B” (bisa cek di yutub, dibikin mini-movie sama brand Rapha). Si penggagas adalah pejuang/penderita kanker usus besar. Dia merasakan nyeri yang dia sendiri tidak bisa memilih. Ego dasar manusia itu tadi dia jadikan dasar untuk mengumpulkan banyak orang lain untuk menggalang dana dan membangun spirit dengan mengadakan longride dengan sepedaan ke jarak panjang tertentu melalui pegunungan yang terkenal berat sekali tanjakannya. Si dia melakukannya saat dalam siklus kemo. Unreal.
Bentuk rasa syukur dia terhadap hidup, menunjukkan bahwa empati itu bisa dicipta dengan menyiksa diri dengan siksaan yang bisa dipilih. Empati besar yang ditunjukkan kepada semua pejuang-penyintas kanker dan keluarganya yang tidak ada pilihan selain melalui penderitaan melawan kanker. (“no plan B”)
Saya merasakan hal yang sama kemarin. Meniru semangat “no plan B”, saya, yang cacat ini, yang persis satu tahun lalu masih tergeletak di Kasur ICU dengan kabel kabel monitor, dengan selang-selang yang menghubungkan organ-organ saya sendiri dengan kantung-kantung yang melekat dengan tubuh saya, dengan ribuan bentuk kekhawatiran dari istri, keluarga ,orang-orang dekat, bahkan orang-orang jauh dengan saya. Rasanya campur aduk hingga hancur (saat itu).
....
Lalu saya terasa tiba-tiba bangun di tengah mimpi, iya, di dalam mimpi. Petunjuk besar bertuliskan 41km. "Satu kilometer lagi" teriakan dari dalam saya.
Saya dengan baju lari saya yang sudah lepek karna basah kering oleh keringat dan siraman air, kedua kaki saya yang seolah tidak mau berhenti walau sangat kelelahan mau meledak, nafas yang sesak bukan karena paru kelelahan, tapi karna air mata yang mulai menetes tumpah, lari dengan tersedu-sedu. Teriakan nama saya oleh smua orang, teriakan #kalahkankanker karena tulisan itu ada pada punggung kami. Iya, kami, karena saya tidak sendiri.
Saya berlari bersama puluhan teman saya, yang mungkin memiliki perasaan sama dengan saya: ga percaya sampai disini. Dan saya juga merasakan energi dari (mungkin) para keluarga, para pejuang, para penyintas, arwah para mantan pejuang (yang semangatnya abadi), para malaikat, yang tidak smuanya ada di lokasi tapi semuanya paham bahwa ini bukan mimpi.
Kami finish bergandengan.
Lalu saya menangis untuk ego saya sendiri. Terasa campur aduk. Antara hina dan bahagia.
Saya bahkan merasa sangat dekat dengan Tuhan, karena betapa baiknya Dia terhadap saya yang begitu ga sempurnanya ke Dia, begitu hinanya saya yang dengan sombong merasa pantas diberi hidup, malah mengambil resiko membuang hidup saya dengan lari sejauh ini.
Tapi mungkin ini cara-Nya untuk ngasi tahu ke lingkungan saya, mereka, dan semua manusia, bahwa:
Kanker bisa dikalahkan.
Bersama.
Dan ini masih awal dari perilaku kami untuk ini.
#marirayakanhidup





Tuesday, July 03, 2018

MILES TO SHARE (behind the scene)

Saturday, June 16, 2018

MILES TO SHARE (A CHARITY RUN FOR CANCER PATIENTS IN EAST JAVA, INDONESIA)

Hi there, I am Kamil, 32 years old. 
I was diagnosed with fibrosarcoma (connective tissue cancer) in multiple areas on my body. I underwent 5 surgeries in the last 10 years (4 tumor removal surgeries and 1 complication infection surgery). Last year, my Diaphragma, the main muscle for breathing, was replaced with an artificial one because part of it became tumorous. A small part of my left lung has also been removed. A few parts of my spine and the surrounding muscles on the neck and chest area have also been removed. A titanium plate was inserted for additional support. 
I am very grateful to have a very supporting family, which together with my medical professional background, has allowed me to make the most out of my cancer treatment. I have been very lucky to be able to overcome my difficulties until now.
My experience has made me realize that not all cancer patients and cancer survivors are as lucky as I am. Unfortunately, not everyone is blessed with a fully supportive family, has easy access to health facilities or financial support. 
On 18th November 2018 I will be running in a Full Marathon class (42,195 KM) in the Borobudur Marathon. This will be my second FM, but it will be my first full marathon after my diaphragm and lung tumor removal and installation of titanium plate for my neck support.
I am definitely very excited about this. We, cancer survivors will beat our illness/condition.
You can be part of this too, by donating to cancer patients and cancer survivors in their battle fighting cancer. 
100% of the donations collected will be used to support the foster house of Yayasan Kanker Indonesia, East Java branch. This foster house facilitates cancer patients from other cities and other islands throughout Indonesia.
This might not help much, but I believe #milestoshare will definitely give impact to our healing process.
Warm greetings, 
Kamil