Tuesday, December 13, 2016

Kelan smua suci aku penuh fofa *halah

Sesuai antropologi manusia yang hidup bersosial di lingkungan tertentu, saya hampir yakin kalo semua orang akan menilai orang lain dari luarnya, kesan pertama dari tindak tanduknya sebelum melaju ke area paradigma jenis orang yang menjadi objek tersebut. Tidak serta merta negatif, menilai orang lain dengan cepat mutlak dibutuhkan untuk menempatkan diri supaya kondisi kondusif. Misal ketemu orang yang kesannya rapi, maka si penilai itu akan menyesuaikan diri supaya tidak jorok. Semua ini termasuk naluri untuk menghormati skaligus bertahan hidup. Naluri manusia untuk berlaku adil terhadap lingkungannya. Benar kan ya?

Tapi tidak semua sesimpel hal tadi, meski asumsinya semua orang berniat baik. Kita (sebagai objek) selain dinilai kelebihannya, juga dinilai kekurangan. Kelebihan yang diasumsikan membawa kita ditempatkan di posisi yang (seringnya) lebih baik daripada jika kita dinilai kurang/negatif.

Misalkan saja, objek ikut main basket di tempat yang asing/baru, ball handling dan cara objek bermain akan mudah sekali dinilai sekejap. Lalu pasti setelah game, bakal lebih diajak ngobrol sana sini dan lebih diterima oleh lingkungan baru tersebut jika dibandingkan dengan objek dua yang biasa-biasa saja atau malah 'ga bisa main'. Objek pertama mendapat posisi yang baik karna dinilai baik, dan sebaliknya. Ini contoh yang nyata dan sangat memotivasi untuk selalu menjaga kesan yang  baik dimanapun.

Tapi disini saya lebih menekankan ke objek negatif. Contoh basket tadi misalnya, si objek yang negatif mungkin saja ga baik karna punya alasan lain, habis cedera, atau uda ratusan taun ga nyentuh bola, atau apalah. 

Di-remeh-kan.

Iya, hal ini tidak enak, siapa suka diremehkan? Tapi niscaya hal ini justru beberapa kali lipat lebih memotivasi daripada  dianggap baik tadi. 
Jika kita tahu, sebagian besar atlet yang juara awalnya diremehkan. Para penemu dibidang sains, Einstein misalnya, awalnya dia diremehkan. Memang sebagian lagi hidup karna talenta (yang tentu dimenej dengan baik). Dan apa yang membuat sebagian besar objek yang diremehkan menjadi berkebalikan?

Mungkin kita yang pernah atau sedang merasa atau dengan nyata diremehkan tentang sesuatu, harusnya secara otomatis menjadikan sebagai pupuk bahwa hal itu bukan mustahil untuk sebaliknya.

Michael Jordan, awalnya tidak bisa jumpshoot. Dia menyadari itu, justru itu menjadi titik balik untuknya, dan berhasil menjadi jumper terbaik dunia. (Buku referensi: how to be like Mike)

Saya sendiri sangat biasa diremehkan. Mungkin secara tampang dan selera penampilan di mata orang lain, kadang status sosial juga. Namun saat dengan sabar dan konsisten membuat hal-hal itu menjadi positif, rasanya seperti menari dan semakin juga menemukan jatidiri. Tetapi tantangan tersendiri untuk selalu menyambung asa supaya selalu positif. Seperti meditasi, fokus untuk mendiamkan suara monyet di kepala kita sendiri.

Mengenal diri bukan saat remaja saja, mungkin sampai usia senja nanti proses ini akan terus berlangsung. Iya, dinilai dan dinilai, tinggal mengatur dan bermain dengan respon yang positif.

Sumpah ini tulisan panjang paling belibet yang saya buat hahaha
Selamat malam.
*foto: si kecil uda gede aja nih*