Thursday, November 22, 2018

Full marathon ter-Melankolis



Full marathon adalah berlari sejauh 42.195 kilometer. Secara angka iya, tapi scara fisik bukan dua kali half marathon atau 4.2kali berlari 10km. Tubuh manusia normal memang de-desain untuk beraktivitas dan tidak diam. Juga dengan tubuh manusia yang yang sudah jatuh bangun dengan banyak penyakit, misal seperti otot diafragma yang menjadi tumor dan diganti separonya, paru kiri yang tidak utuh karena dibuang sebagian, ditambah otot-otot punggung yang dibuang beserta sebagian tulang belakangnya. Cacat? Iya. Tapi tetap, badan ini de-desain untuk beraktivitas (biasa).
Bagi orang normal, full marathon adalah olahraga ekstrim. Umumnya harus dipersiapkan 3-4 bulan, itu saja untuk target hanya ‘menylesaikan’. (Kecuali manusia yang berbakat dan terbiasa memiliki endurance diatas rerata). Kenapa ekstrim? Karena taruhannya adalah nyawa.
Awalnya pikiran saya seperti ini: Manusia itu lucu, jika diberi pilihan (oleh-Nya) penderitaan, entah nyeri secara fisik atau psikis, umumnya tidak mau. Tapi kalo ada hal-hal ekstrim seperti marathon tadi: menyiksa secara fisik, membuang waktu bulanan untuk latihan, bayar, cuma dapet medali dan foto-foto, ga dapet podium juara, nyeri, dll dll (intinya nyiksa dirilah) ga sedikit yang gandrung.
Konsep tadi itu buyar setelah ada movement “no plan B” (bisa cek di yutub, dibikin mini-movie sama brand Rapha). Si penggagas adalah pejuang/penderita kanker usus besar. Dia merasakan nyeri yang dia sendiri tidak bisa memilih. Ego dasar manusia itu tadi dia jadikan dasar untuk mengumpulkan banyak orang lain untuk menggalang dana dan membangun spirit dengan mengadakan longride dengan sepedaan ke jarak panjang tertentu melalui pegunungan yang terkenal berat sekali tanjakannya. Si dia melakukannya saat dalam siklus kemo. Unreal.
Bentuk rasa syukur dia terhadap hidup, menunjukkan bahwa empati itu bisa dicipta dengan menyiksa diri dengan siksaan yang bisa dipilih. Empati besar yang ditunjukkan kepada semua pejuang-penyintas kanker dan keluarganya yang tidak ada pilihan selain melalui penderitaan melawan kanker. (“no plan B”)
Saya merasakan hal yang sama kemarin. Meniru semangat “no plan B”, saya, yang cacat ini, yang persis satu tahun lalu masih tergeletak di Kasur ICU dengan kabel kabel monitor, dengan selang-selang yang menghubungkan organ-organ saya sendiri dengan kantung-kantung yang melekat dengan tubuh saya, dengan ribuan bentuk kekhawatiran dari istri, keluarga ,orang-orang dekat, bahkan orang-orang jauh dengan saya. Rasanya campur aduk hingga hancur (saat itu).
....
Lalu saya terasa tiba-tiba bangun di tengah mimpi, iya, di dalam mimpi. Petunjuk besar bertuliskan 41km. "Satu kilometer lagi" teriakan dari dalam saya.
Saya dengan baju lari saya yang sudah lepek karna basah kering oleh keringat dan siraman air, kedua kaki saya yang seolah tidak mau berhenti walau sangat kelelahan mau meledak, nafas yang sesak bukan karena paru kelelahan, tapi karna air mata yang mulai menetes tumpah, lari dengan tersedu-sedu. Teriakan nama saya oleh smua orang, teriakan #kalahkankanker karena tulisan itu ada pada punggung kami. Iya, kami, karena saya tidak sendiri.
Saya berlari bersama puluhan teman saya, yang mungkin memiliki perasaan sama dengan saya: ga percaya sampai disini. Dan saya juga merasakan energi dari (mungkin) para keluarga, para pejuang, para penyintas, arwah para mantan pejuang (yang semangatnya abadi), para malaikat, yang tidak smuanya ada di lokasi tapi semuanya paham bahwa ini bukan mimpi.
Kami finish bergandengan.
Lalu saya menangis untuk ego saya sendiri. Terasa campur aduk. Antara hina dan bahagia.
Saya bahkan merasa sangat dekat dengan Tuhan, karena betapa baiknya Dia terhadap saya yang begitu ga sempurnanya ke Dia, begitu hinanya saya yang dengan sombong merasa pantas diberi hidup, malah mengambil resiko membuang hidup saya dengan lari sejauh ini.
Tapi mungkin ini cara-Nya untuk ngasi tahu ke lingkungan saya, mereka, dan semua manusia, bahwa:
Kanker bisa dikalahkan.
Bersama.
Dan ini masih awal dari perilaku kami untuk ini.
#marirayakanhidup