Sunday, January 15, 2012

Bulan ke2: Hierarkisme residensi.


Jujur, saya nulis ini saat sedang dalam kelas untuk mengikuti kuliah MKDU, entah apa kepanjangannya. Jadi semua residen atau mahasiswa sekolah spesialis angkatan saya, Januari 2012 ini dari semua program studi di UNAIR, diwajibkan ikut program MKDU ini. Kerjaan tiap hari adalah: kuliah (seperti saat S1) dengan beberapa mata kuliah yang aduhai pentingnya. Antara lain: Statistika, Etika, Metode penelitian, studi prognosis, farmako, evidence base medicine, dll dll.. So far, slama dikelas yang saya lakukan adalah: tidur, dengerin 5menit dan buntu, ngabisin novel, twitteran, pokoknya banyak lah.. hahahaha.. Tapi lumayan, nambah temen yang 'satu nasib' seperti anak2 ortopedi ataupun obsgyn.

Kenapa saya sebut satu nasib. Yang karena semestinya anak-anak smester 1 (MKDU) ini secara dejure gak boleh dikenain tugas tugas apapun di bagian. Tapi nyatanya kami dikenakan tugas-tugas mulia dari kakak-kakak kelas.

Iyah, budaya 'Hirarki' yang sudah 'mengakar' di Endonesa tercinta ini, sangat bisa dirasakan di lingkungan sekolah spesialisasi disini. Yang saya tau langsung sih, di Unair dan di Undip begitu, dan isu yang berkembang, tsaaaaah, di smua center pendidikan lain di tanah air ini juga begitu.
Maksud dari hirarkisme disini adalah, ga boleh berkata 'ngga' sama kakak kelas. simpelnya begitu. Banyak hal yang jadi 'ga sehat' disini. Beruntungnya di bagian saya ngga bgitu 'keras' seperti bagian lain yang saya sebutkan tadi diatas, karna stidaknya tugas-tugas saya 'cuma' hal-hal yang berkaitan dengan pasien dan data operasi blablabla, bukan yang gak berhubungan dengan tugas-tugas aneh seperti gantiin galon, ngamplas kayu, atau nganter jemput kakak kelas ke luar rumah sakit.

Saya bisa bilang begitu karena saya pernah tahu langsung keadaan sekolah di Jepang dulu. Yah, memang beda budaya beda sistem sih... So far, saya masih dalam tahap menilai superfisial saja, baru 2bulan gitu loh, tapi konklusi sementara yang saya dapat adalah: Sistem yang uda 'kadung' mengakar ini mengakibatkan naluri untuk berhenti melanjutkan hal-hal yang menjurus negatif dalam hirarkisme sekolah residensi disini. Saya sendiri pesimis kalo mau membuat revolusi untuk mengubah itu, seperti biasa, saya jadikan ini tantangan untuk belajar menyikapi nya se-kamil mungkin,., hehehe..

Tapi seru kok, beneran, ketemu sama karakter-karakter asing, beradaptasi optimal, dan saya juga sedang mengembangkan dan mempraktekkan cara mencuri ilmu serakus-rakusnya. fight fight fight!! =]


( gambar: seragam keseharian saya.. *instagram @kamilpopo )

Friday, January 13, 2012

hidup dalam rumah paradigma


  • Anak harus mencintai orangtuanya
  • Orang muslim harus mencintai Rasulnya
  • Dokter harus bergaya dokter, pakai kemeja, spatu pantofel, clana kain, stetoskop.
  • dll dll dll
Beberapa hal diatas adalah secuil idiom yang menempel pada otak otak subjek kita.. Iya, saya sendiri ga bisa menjeneralisasi pada pikiran smua orang, setidaknya di lingkungan saya, hal hal seperti itu bisa diambil sbagai contoh.

Bagaimana bisa, misal, komunikasi yang sulit terjalin dari orangtua dengan anak sejak kecil, membuat anak mencintai orangtuanya, secara naluri , iya. Tapi lihat saja, semakin kesini, tuntutan itu tak bisa masuk logika bila gaya hubungan ortu-anak yang biasa 'ga deket'?

"KITA HARUS MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA LEBIH DARI APAPUN", ini adalah kalimat monoton yang seriiiiing banget saya dengar. NORMATIF. Bagaimana saya mencintai tuhan dan rasul saya bila cuma kalimat ini yang saya dengar, jika apa yang saya ketahui ttg Allah dan Rasul cuma ini ini aja... Saya ga kenal Allah, saya ga kenal Rasul. Al Quran yang bahasa arab itu, yang tulisannya Arab smua, yang lancar saya baca, yang artinya jg bisa semena-mena saya diskripsikan setelah saya baca Quran terjemahan obralan di gramedia. Tiap hari yang ada di kuliah2 agama di tivi hanya sputar nata hati dan kalimat2 normatif para ustad beken karena ngawinin artis.. *ups

Saya juga sering dikomentarin: "kok dokter kaya gini ya? ga keliatan kalo dokter" setelah mereka, ngeliat pnampilan saya. Padahal saya rapi-rapi aja... Mungkin ditempat anda atau di nan jauh disana uda ngga. Tapi di sekitar saya, dokter itu: serius mukanya, badannya ga boleh atletis, baju bapak-bapak, ga boleh punya hobi ekstrem, pakai spatu pantofel. Pokoknya ga boleh rebel lah.... haha, ssetiap kluar kalimat tadi, saya ngrasa menari di mindset mreka. so shallow..

Skali lagi saya ga menjeneralisasi, tapi di lingkungan saya demikian adanya.
Hidup dalam paradigma itu menjemukan. Mengikuti hati, mengikuti mimpi, membiarkan 2hal tadi berteriak lebih keras dari teriakan pita suara kita. bebas.

Semakin kesini, saya pun banyak belajar, banyak hal yang membuat saya ga cuma ngikutin naluri dan mindset. Arti keluarga yang muncul perlahan, arti Tuhan yang ga semonoton ceramah siraman rohani di tivi, profesi dokter yang kompleks. Dan belum selesai smua pencarian ini. sangat belum.

Temukan diri. yuk..

*foto: hasil mainan instgram, cek account @kamilpopo