Friday, January 13, 2012

hidup dalam rumah paradigma


  • Anak harus mencintai orangtuanya
  • Orang muslim harus mencintai Rasulnya
  • Dokter harus bergaya dokter, pakai kemeja, spatu pantofel, clana kain, stetoskop.
  • dll dll dll
Beberapa hal diatas adalah secuil idiom yang menempel pada otak otak subjek kita.. Iya, saya sendiri ga bisa menjeneralisasi pada pikiran smua orang, setidaknya di lingkungan saya, hal hal seperti itu bisa diambil sbagai contoh.

Bagaimana bisa, misal, komunikasi yang sulit terjalin dari orangtua dengan anak sejak kecil, membuat anak mencintai orangtuanya, secara naluri , iya. Tapi lihat saja, semakin kesini, tuntutan itu tak bisa masuk logika bila gaya hubungan ortu-anak yang biasa 'ga deket'?

"KITA HARUS MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA LEBIH DARI APAPUN", ini adalah kalimat monoton yang seriiiiing banget saya dengar. NORMATIF. Bagaimana saya mencintai tuhan dan rasul saya bila cuma kalimat ini yang saya dengar, jika apa yang saya ketahui ttg Allah dan Rasul cuma ini ini aja... Saya ga kenal Allah, saya ga kenal Rasul. Al Quran yang bahasa arab itu, yang tulisannya Arab smua, yang lancar saya baca, yang artinya jg bisa semena-mena saya diskripsikan setelah saya baca Quran terjemahan obralan di gramedia. Tiap hari yang ada di kuliah2 agama di tivi hanya sputar nata hati dan kalimat2 normatif para ustad beken karena ngawinin artis.. *ups

Saya juga sering dikomentarin: "kok dokter kaya gini ya? ga keliatan kalo dokter" setelah mereka, ngeliat pnampilan saya. Padahal saya rapi-rapi aja... Mungkin ditempat anda atau di nan jauh disana uda ngga. Tapi di sekitar saya, dokter itu: serius mukanya, badannya ga boleh atletis, baju bapak-bapak, ga boleh punya hobi ekstrem, pakai spatu pantofel. Pokoknya ga boleh rebel lah.... haha, ssetiap kluar kalimat tadi, saya ngrasa menari di mindset mreka. so shallow..

Skali lagi saya ga menjeneralisasi, tapi di lingkungan saya demikian adanya.
Hidup dalam paradigma itu menjemukan. Mengikuti hati, mengikuti mimpi, membiarkan 2hal tadi berteriak lebih keras dari teriakan pita suara kita. bebas.

Semakin kesini, saya pun banyak belajar, banyak hal yang membuat saya ga cuma ngikutin naluri dan mindset. Arti keluarga yang muncul perlahan, arti Tuhan yang ga semonoton ceramah siraman rohani di tivi, profesi dokter yang kompleks. Dan belum selesai smua pencarian ini. sangat belum.

Temukan diri. yuk..

*foto: hasil mainan instgram, cek account @kamilpopo

1 comment:

The Dummy Cook said...

Ya, mari menemukan diri.. walau pencariannya hanya beberapa langkah setiap hari.. :)

Tetap semangat, Mil.. semoga sukses PPDSnya yah..

- Siska (
yang suka iseng blogwalking tapi ngk mau meinnggalkan jejak, kecuali skr.. hehe)