Wednesday, June 02, 2010

me-kenas-kan


Kejadiannya pada bulan Oktober, memang bagi saya stase di bagian obsetri&ginekologi ini lebih dari sekadar seru. Banyak hal yang menjadikan saya mengerti ‘lebih’ akan suatu hal. Buktinya salah satu rangkaiannya secara detail masih saya ingat sampai sekarang, mungkin sampai nanti nanti. ‘membekas’.

Singkatnya saya pada saat itu bertanggung jawab kepada seorang pasien wanita, 34tahun, primigravida(hamil pertama) minggu ke 36, datang dan dirawat di rumah sakit Tugu karena menderita preeklamsia ringan(tekanan darah tinggi pada trisemester/3 bulan akhir kehamilan). Penyakit ini memang memiliki angka kejadian yang tinggi pada wanita Indonesia. Tapi yag unik, ibu ini memiliki sifat yang secara mental lemah, hmmmm, mungkin ke arah manja tapi ga enakan. Unik lah pokoknya.

Dia datang pada sore hari. Denyut jantung bayi menandakan bayi dalam kandungannya ‘sehat’, dan tekanan darah berhasil diturunkan. Dia dirawat inap (rencananya sampai 2hari) untuk memastikan tekanan darahnya terkendali, juga untuk memastikan si bayi masih ‘kuat’ (karena dgn tekanan darah tinggi bisa me-mati-kan si bayi). Yang ditakutkan pun terjadi. (biasanya jarang) Pada subuh, sekitar jam5an, waktu mengecek pasien inap satu-persatu, saya dengan alat pendeteksi DJJ (denyut jantung janin) menemukan bahwa, tidak ada tanda-tanda bayi di dalam kandungan si ibu ini masih hidup. Secara pelan saya tanya ke si ibu, “maaf bu, semalem krasa mules ga bu?atau ibu ngrasa kluar flek dari jalan lahirnya?” si ibu menjawab ”iya mas,saya sebenarnya semalem mules banget pas tengah malem, tapi ga enak sama suami saya kalo mo bangunin, dia kliatan cape..”saya: “………?!(hela nafas dalem sekali).... ya uda bu, tapi nanti kalo ngrasa apapun langsung panggil minta bantu ya bu…” Lalu saya melangkah keluar untuk melaporkan ke dokter jaga supaya ikut memastikan kematian si jabang bayi (yang hampir matang) itu.. Iya, agak satir hati saya. Sedih.

Setelah di USG, dipastikan meninggal, kami memberitahu keluarga, terutama ke suami si ibu ini terlebih dahulu keadaaan sebenarnya (mengingat mental si ibu ini pasti akan sangat drop bila tau langsung). Dan (terpaksa) kami mengikuti saran suami, dan keluarga si ibu ini sendiri untuk tetap tidak memberitahu kematian si bayi ini. Karena semua mengakui, ibu ini memang lemah sifatnya. Dan ironisnya jalan satu satunya untuk ibu ini adalah mengakhiri kehamilan scepatnya (karena bila tidak, si ibu bisa pendarahan berat dan ikut meninggal juga) dengan cara diberi obat supaya cepat dilahirkan lewat jalan normal.

Ironisnya. Seperti pada ibu-ibu dengan proses bersalin pertama kali, pasti merasakan nyeri yang lebih-lebih. Ditambah pada ibu ini, stimulasi tidak terlalu berhasil, partus macet pun terjadi (kalo ga salah , kala satu lebih dari 12 jam) *sakit banget tu pasti. Dan yang lebih bikin saya miris. Ibu ini sama sekali belum tahu akan bayi di dalam kandungannya sudah meninggal.

Oke, lalu kala II atau fase bersalin atau fase jebol beneran sudah tiba. Saya menemani ibu ini, disampingnya, karena suamipun tak tega.

Hati saya miris teriris iris, harus menopeng akan tahunya saya akan sudah meninggalnya si bayi. Selama lebih dari 4 jam saya menemani si ibu (tengah malam sampai subuh), menjadi pegangannya (remasannya), dan menjadi teman ngobrolnya, tentang segala hal,sampai proses menjahit robekan jalan lahirnya selesai (Bayi lahir, ibunya hanya diberi lihat sejenak (kami sengaja supaya ibu teteap tak tahu,huff...), pucat, Berat skitar 4kg, tanpa ruh dan langsung di bawa ke ruang lain untuk diurus para bidan dan keluarga si ibu).

Kami mengobrol tentang bagaimana dia bertemu dan brpacaran dengan si suami, tempat kerja, kampung halaman, dan lain-lain. Dan selalu saja dia menjuruskan omongannya ke buah hatinya, laki ato perempuan? Kok ga nangis? Enaknya diberi nama apa? Pengennya disuru jadi dokter kaya mas, pengen disekolahin favorit,,dll,dll.. Dan lagi, bagian terberatnya selama 4 jam itu adalah: saya selalu tega membohongi dan selalu mengalihkan pembicaraan supaya si ibu tetep tak mengetahui. Si bayi sudah tiada , dari awal.

Setelah selesai, pas baget subuh, saya sangat lelah, secara mental tentunya. Pada pagi hari saya gantian jaga dengan teman saya.

Saya tak sarapan pagi itu, dan sepertinya juga tak makan siang.

Lebih tepatnya tak nafsu.

Smoga si ibu skarang tetap dalam bahagia.

=[ =]

2 comments:

prita said...

ahh, cerita ini... :'(

mutiaramedina said...

semoga bayinya jadi penolong ibunya di akhirat nanti. amin :')