Hai semua. kiranya tidak perlu menjelaskan kenapa saya lagi-lagi jarang nulis disini.
namanya juga pengkhayal, bukan penulis. hehe
Kali ini, dibantu jaringan intenet lancar dan beberapa source di gugel,,bolehlah saya bercerita mengenai sistem asuransi kesehatan di Indonesia kami tercinta jika kita lihat dari sudut pandang perbandingan dengan sistem asuransi nasional yang analoginya adalah BPJS-nya Jepang.
Terinspirasi oleh satu link yang di-forward di grup aplikasi komunikasi di smartphone mengenai tulisan yang beraroma positif mengenai BPJS, sistem asuransi nasional yang (tak terasa) sudah dicanangkan di UU no.24 Th2011 mengenai lahirnya sistem BPJS (sebelumnya jamkesmas, askes, dll. terus dijadiin satu namanya dan sistemnya) yang secara resmi diberlakukan sejak 2014. (source: WIKIPEDIA).
Kalo kita mencoba review di dunia maya dimana media sosial, terutama, dan tulisan di situs situs berita mengenai BPJS ini, mungkin separoh lebih isinya mengenai betapa ngga bagusnya sistem ini.
Tapi ga kalah banyak juga loh yang nulis mengenai bagusnya dan betapa sistem yang belum lama jalan ini untuk membantu dan meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia tercinta tanah air beta pusaka abadi nan jayaaaa.
Kedua, secara statistik, BPJS telah berhasil mengkaver lebih dari separoh penduduk yakni sekitar 60% (http://infobpjs.net/ , bps.go.id) dibalik masih memprihatinkannya statistik anggaran pemerintah di bidang kesehatan yang menduduki peringkat 4 dari bawah di dunia (data bank dunia). bingung? satu dulu. Dan sebagai negara berkembang yang sudah lumayan berkembang (menurut asumsi awam saya, hehe) dibandingkan negara asean saja, Indonesia masih pada urutan terbawah mengenai pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan. Nyambung gak nyambung sih, lebih ke efisiensi sistem kesehatan yang belum sepenuhnya sampai ke yang membutuhkan. Semoga saya aja yang salah memahami data data itu karna bpjs ini tergolong masih baru sedang data-data global tadi belum terlalu baru, yang pasti, sistem kesehatan Indonesia masi dalam tahap perkembangan yang baik namun pelan dan atau telat saja.
Kebetulan saya juga berpengalaman terhadap sistem ini berdasar pengalaman kurang lebih 4 tahun mengabdi, eh, bukan, bekerja, eh , bukan juga, atau apalah pokoknya slama saya menjalani program ppds di RSUD Sutomo Surabaya (2012-2015). Yang pasti, asuransi kesehatan nasional di Indonesia sudah sangat menolong masyarakat.
Entah, detailnya mari kita lebih memahaminya mulai besok.
.....
Saya kebetulan sudah merayakan satu tahun merantaunya saya di negeri maju ini (baca: nippon), dan kebetulan juga sudah beberapa kali berobat. Yap, dibalik betapa giatnya saya dan keluarga untuk hidup sehat dan pemahaman prevensi terhadap penyakit, tidak terhindarkan juga adanya kebutuhan yang tinggi terhadap fasilitas kesehatan. Mulai dari alergi dingin dan infeksi (orang tropis gitu loch), dan beberapa kondisi fisiologis yang butuh pemeriksaan penunjang dan konsultasi ke spesialis. Maka dari itu kami merasakan efek beruntungnya mengikuti asuransi kesehatan nasional disini, iya, bpjs nya Jepang.
Sistem asuransi kesehatan di Jepang (sebut saja HOKKEN) ini sudah berjalan secara menyeluruh sejak 5 dekade lalu (tahun 60an) walau sejatinya diawali saat post perang dunia satu sampai sekarang dimana saat dekade awal, ditambah hancurnya Jepang di segala bidang setelah kukut kalah perang. Yaaa dasar Nippon, kondisi jatuh dan kepepet itu justru berakibat konsistensi untuk membangun sumberdaya dan sitem yang benar-benar-benar jitu, dimana menurut WHO , Jepang merupakan jajaran teratas negara didunia dengan sistem asuransi kesehatan nasional yang yang paling efektif. (sumber: wikipedia)
Setahu saya seluruh fasilitas medis di sini bisa memakai hokken. Singkatnya, sistem ini memungut premi asuransi sebanyak 10 kali satu tahun , pembayaran cukup mudah, bisa diatur untuk autodebet ke akun tabungan di bank, atau bisa bayar sesuai dedline setiap nomor urutnya di convenient store terdekat. kalo di indonesia kaya indomaret atau alfamaret. besar premi tergantung laporan pajak yang dilaporkan sekali setaun sesuai tenggat waktunya, contoh seperti saya yang hidup dari beasiswa pemerintah Jepang, maka akan dikenakan premi terendah, kira kira 1.500an yen (asumsi 1 yen 120 rupiah, makan sekitar hampir 200 ribu rupiah), setaun sekitar 15.000 alias 2 juta rupiah, jadi kalo dianalogikan ke BPJS yang kelas satu misalnya, perbulan 60ribu rupiah, setahun ga nyampe satu juta, broooooo. Mungkin memang karna sistem pembayaran yang tampak ribet, (padahal ga ribet loh ya), dan kompleksitas mental dan kebiasaan bayar premi bagi masayarakat endonesia yang bikin lumayan susah tepat bayar.
Untuk biaya kesehata, mirip-mirip sama bpjs yang punya sistem sendiri dengan jatah poin dan lain sebagainya yang bikin ada limit tertentu untuk setiap diagnosis dan biaya untuk menejemennya sampe tuntas terapi. Di sistem hokken ini sistemnya cukup mudah dimengerti, yaitu: 70% asuransi, 30% pribadi. Artinya, smua hal dari A sampe Z dari kelas satu sampe presidensial, biayanya 'cuma' 30% dari semua konsumsi. Walau ada beberapa kondisi tertentu 100% negara (usia, penyakit, dll, saya kurang paham).
Sistem ini sempat berubah-ubah sebelum akhirnya fix di tahun 70an sampai sekarang, iya, uda jalan 40tahunan.
Fasilitas kesehatan di Jepang ini standar negara maju alias semuanya bisa dibilang hi-end dan terpusat, mirip-mirip lah yaa, ada yang kelas puskesmas atau klinik yang jadi satelit, sistem rujuk-rujukannya oke, selain fasilitas, waktu dan transportasi jarang jadi kendala (sepertinya jumlah ambulan dan doctor-heli mreka ga terbatas hehe). Mereka juga ada pembagian untuk pilihan kelas untuk fasilitasnya loh..
Untuk administrasi, ga terlalu ribet, iya mungkin karna sistemnya uda established lama, tinggal urus sehari di di city hall, langsung jadi deh.. antri? yaaa tetep lah antri. trus untuk pemakaiannya di rumah sakit umum, misal seperti univ.hospital disini (analogi kaya RSCM deh kalo di jakarta), tetep antri panjaaaaaang dan laaaamaaaaaa loh, sumpa deeeh.. yang periksa di rumah sakit pusat disini juga bejibun banyaknya. Jadi yang namanya periksa ke rumahsakit pusat itu dimana-mana bakal kudu siap cape antri. titik.
Pemeriksaan semua disini sudah pakai sistem digital , terutama untuk buku status pasien, dan hasil pemeriksaan penunjang, tapi untuk informconsent dan beberapa hal lain tetep hardcopy. Jadi tetep aja pasien dan petugas bakal berurusan dengan dokumen, ga beda jauh kan?
Nah, SDM nya nih yang sedikit beda, budaya manusia disini yang respek tinggi terhadap yang lebih tua, anak-anak, dan terutama orang sakit, bikin smuanya kerasa dimudahkan. Ditambah sosial budaya kecil lain seperti antri, bersih, dan sebagainya yang sulit dijelaskan disini.
Tenaga medis disini, saya kurang bisa tau banyak sih, sepertinya ga ada masalah mengenai pendapatan mereka berhubungan dengan asuransi, ya itu tadi, karna sistem uda jalan berpuluh tahun, secara sistem semuanya lancar-lancar aja. Sepaham saya di Jepang, dokter termasuk di 3 besar pendapatan tertinggi selain pengacara dan guru.
Dan walaupun segalanya seperti sudah enak dan nyaman, negara ini memiliki masalah tersendiri dan akan menghadapi kerumitan kedepan karna penyakit kronis dan degeneratif akan sangat tinggi mencatut biaya kesehatan karna selain masalah beranak pinak, orang Jepang dengan pemahaman dan tingkah laku sehatnya berakibat masa hidup lebih panjang dan dominasi penduduknya adalah : orang tuwir yang sepaket dengan pnyakit-penyakit yang tidak bisa dihindari yaitu pnyakit orang tua.
BPJS di Indonesia?
baru banget.
Jadi, apapun ke-negatifan dan kepositifan yang kita tangkap dari semuanya mengenai BPJS kita, InsyaAllah kedepan bakal bertransformasi menjadi baik, sangat besar kesempatannya untuk itu. bagi pasien, bagi masyarakat, bagi pemerintah, dan bagi pekerja di bidang medis, bagi smuanya. Amiin
Sekian, mohon maklum jika kurang panjang karna pendek itu belum tentu ga kuat, *halah
2 comments:
Dari diskusi sama prof ada sekitar 600 penyakit sulit yang butuh perawatan jangka panjang dan biaya banyak, itu 100% dicover pemerintah. Kalo sdh terdiagnosis, minta surat keterangan dari RS, ke cityhall nanti dapet kartu khusus. No ceiling kata prof, tapi obat2nya yang tercover asuransi aja. standar therapy emg ud tercover semua sih yg ga tercover ky wt1 vaccine gtu yang bener2 baru dan blm masuk guideline.
Kalau utk anak2 pembagian presentasenya 80% pemetintah 20% pasien. Bila persentase yang dibayar pasien sdh melebihi nominal tertentu (perawatannya ternyata biaya tinggi), akan ada pengembalian dr pemerintah lgsg masuk bank account.
Satu lagi, sistem rujukannya emang udah bagus sih. Kita ga akan bisa ke univ.hospital tanpa rujukan. Bisa dalam bbrp bidang, tapi pasien diharuskan bayar 3240 yen extra di luar biaya yg tercover insuranse pada kunjungan pertama, dan 1620yen pada kunjungan berikutnya. Mayan mahal mengingat tiap berobat ya abisnya segitu jg.
Lalu utk dokter2 mereka dibayar full oleh RS, termasuk jg resident2nya. Jadi ya memang statusnya pekerja full time di 1 RS. Walau di luar itu mereka jg msh ke RS lain tp sifatnya kerja part-time krn ktnya hitungan gaji di univ.hospital termasuk kecil.
Ya memang sulit sih membandingkan sistem asuransi kesehatan yang sdh berlangsung lama dengan BPJS yang terhitung baru.NHSnya UK aja ud bertahun2 msh banyak dipermasalahin. Belum lagi perbedaan budaya dan karakteristik masyarakat, dan betul sekali sisten rujukan yang di Indonesia selama ini rasanya ga berlaku dgn baik dan butuh penataan yang tentu aja semua itu ga bs instan. Semoga kita jg bisa menuju ke arah yg lebih baik ya.
Post a Comment