"People sometimes sneer at
those who run every day, claiming they’ll go to any length to live longer. But
I don’t think that’s the reason most people run. Most runners run not because
they want to live longer, but because they want to live life to the fullest. If
you’re going to while away the years, it’s far better to live them with clear
goals and fully alive than in a fog, and I believe running helps you do that.
Exerting yourself to the fullest within your individual limits: that’s the
essence of running, and a metaphor for life—and for me, for writing as well. I
believe many runners would agree.”
― Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running
― Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running
Di dalam konteks ilmu
filosofi, sifat egois dalam setiap manusia adalah fitrah. Setiap tindakan
manusia dalam sadarnya pasti berlandaskan motivasi terhadap dirinya. Ego, dalam
definisi adalah ‘Aku’. Lalu egoism ini dibagi menjadi psychological
egoism dan normative egoism, berlawanan dengan yang disebut althurism,
bla, bla bla, lalu di dalam teks-nya menjadi hal yang sangat rumit untuk di
mengerti oleh awam seperti saya. Lalu kenapa saya ngomongin ini ya? Hehe
Kita semua adalah orang-orang
egois.
Kita terbangun pada subuh
untuk sholat, misalnya, karna takut diri kita berdosa menurut pemahaman akan
keyakinan spiritual kita.
Bangun siang-siang, karena
pengen istirahat lebih. Memaksa istri dan anak-anak untuk mengerti kondisi kita
yang memang kurang tidur, mungkin.
Kita belajar dan melakukan
segalanya untuk menyelesaikan sekolah kita. Ada yang tujuannya supaya dapat
nilai gaji optimal nantinya dengan titel yang di dapat, atau sebagian yang
melakukannya untuk kepuasan hati.
Kalo kata salah satu guru
saya: “Dasar Bedes (manusia) egois”.
Bahkan, membelikan bunga
untuk pacar, membawakan eskrim kesukaan anak saat pulang ke rumah, memberi
donasi untuk orang yang membutuhkan, juga termasuk egois.
Menurut saya, semua ini jauh
dari sifat alturisme, karena saat melakukan hal untuk orang lain pun, pasti ada
rasa di dalam diri yang merasa ‘puas’ akan senyum orang lain.
Dalam biologi molekuler,
semua hal yang terjadi di dalam manusia, adalah akibat dari proses unit
terkecil dari sel manusia berupa gen. Sampai saat ini, ilmuan sudah secara
komplit mendata tiga miliar kode gen dalam inti sel manusia. (meski hanya
sebgaian kecil yang sudah ‘ketahuan’ fungsiya) Gen miliaran spesies manusia dia
tas bumi ini adalah sama, kembar, lalu apa yang membedakan setiap individu nya?
Selain polymorphism (saya sangat yakin anda tidak memerlukan penjelasan
detailnya), setiap gen memiliki kualitas ekspresi yang berbeda yang secara
kompleks mengakibatkan perbedaan (sifat) setiap individu. Bahkan 2 anak yang
kembar identik pun bisa sangat berbeda sifatnya, perilakunya, karakter-karakter
nya, dan tingkat egoismenya.
Berlari adalah salah satu produk
dari sifat egoisme manusia.
Ngapain coba, lari jauh?
Simpelnya begitu.
Menurut saya, egoisme malah
bisa menjadi dasar yang positif jika dikelola dengan baik, dengan matang, penuh
strategi, praktis, dan ditambah pandangan yang visioner terhadap kita
sendiri.
Kita ambil simulasi kasusnya,
mendaftar event race full marathon karena sebuah motif egois misal membuktikan
kepada lingkungan kita kalau kita ini ga mau kelihatan lemah.
Disini, si orang ini harus
mengawalinya dengan memilih waktu dan event yang setidaknya ideal untuk
kemampuannya. Baik fisik, ekonomi, dan sudut pandang kemampuan penyokong lain.
Taroh saja, yang lokasi event nya di satu pulau dengan tempat tinggalnya, event
dengan race organizer yang sudah terbukti mumpuni buat jadi host untuk peserta
race-nya, dan memilih timeline yang sesuai dengan jadwal persiapan, cuti
kerjaan, dan sebagainya.
Lalu memulai semua
persiapannya dengan optimal, memulai jarak lari dan pembentukan fisik secara
pelan tapi kontinyu dengan mempersiapkan trainingplan yang khusus dirancang
untuk pribadi. Dan saat ini, tidak sedikit komunitas lari yang punya relasi
dengan pihak profesional yang memang kompeten untuk melatih segala jenis
pelari.
Tiba saat race, memiliki attitude
sebagai pelari juga menjadi esensial, ini pun untuk ego kita, misalnya,
berlapang dada kalo memang merasa tidak bisa menyelesaikan race di bawah cut
off time atau gagal menembus target waktu tertentu ,dan menerima
semua akibatnya untuk menjadi dasar metafora kita selanjutnya.
Saya sepakat dengan Pak Murakami, yang
menyatakan kalau semua pelari itu motif dasarnya bukan untuk kesehatan, tapi
mereka berlari untuk pemuasan ego-nya. Karena dengan berlari, kita bisa lebih
mengelola diri, mengelola ego.