Sejak merantau jauh kemari (Jepang), liburan ke tanah air itu bagai mimpi, ngebayanginnya aja udah senang. Kalau dihitung, kepulangan saya ke Indonesia Oktober-November kemarin itu adalah mudik pertama saya dalam 3 tahun terakhir. Saya sengaja merencanakannya jauh jauh jauh jauh hari banget, karena ini merupakan mudik dengan anak-anak untuk pertama kali. Walau bayangin bebek goreng itu indah, tapi bayangin keribetan perjalanan panjang bersama kiana (3 tahun) dan kai (17 bulan) itu juga sesuatu ya, hehe.
Perjalanan panjang
Kagoshima, kota kami disini , sangat jauh dari pusatnya Jepang (sekitar 1000an km dari area Kanto), maka kami memilih Korean Airlines sebagai penerbangan ideal Kagoshima-Incheon-Jakarta dengan total perjalanan di atas pesawat 10.5 jam plus transit 2.5jam di Incheon. Tiket pesawatnya mungkin relatif murah untuk sekedar Jepang-Indonesia pulang pergi. Tapi karena saya total ber-4, jadinya kalo dirupiahin sekitar 30 juta-an rupiah. dan estimasi kehilangan "gaji" beasiswa disini (karena pergi lebih dari satu bulan) adalah sekitar 20juta-an rupiah. Soal budgeting ini yang sebenernya jadi alasan utama kenapa kami baru pertama kali pulang setelah 3 tahun merantau. Bukan karena terinspirasi lagu bang Toyib.
Diatas pesawat, kami (terutama istri) sepertinya melalui waktu-waktu tersulit dalam hidupnya, Kai yang masih menyusu tapi badannya uda lumayan panjang dan tidak cukup di basinet bayi dan tidak dapat kursi, sparo perjalanan cukup rewel karena tidak nyaman. mengakibatkan mamanya yang lumayan kelelahan tidak bisa nyaman juga. Ditambah si Kiana yang rewel bosan juga.
Perjalanan pulang Jakarta Kagoshima yang kebetulan merupakan penerbangan tengah malam, relatif tidak serewel perjalanan siang saat dari Jepang-Indonesia, juga karena persiapan kami lebih matang dengan bantalan kaki yang bisa membuat Kiana tidur spanjang penerbangan (dan sebenernya bantal udara buat kaki ini dilarang oleh maskapai, tapi sekali itu dimaklumi oleh kru pesawat, saya terimakasih banget lho ini, anyang haseo! wkwkwk). Kesimpulannya, untuk flight panjang bawa anak, lebih baik yang overnight-flight.
Tapi pada akhirnya saya dan istri bahagia banget, problem perjalanan memang sesuai ekspektasi alias ga ada masalah bagasi atau masalah imigrasi, atau masalah lainnya. we had save safe flight.
Rumahnya Banyak
Selama pulang Indonesia kemarin, kami hidup "nomaden" karena nebeng sana-sini. Jadwal kami adalah: Jakarta 4 hari- Surabaya 17 hari, Bali 5 hari, Semarang 15 hari, Jogja-Magelang 5 hari, Semarang lagi 2 hari, Surabaya lagi 2 hari, Jakarta 3 hari. Semua nebeng di rumah sodara (kecuali pas di Bali dan MagelangJogja kami tidur hotel). Transport bervariasi antara pesawat, kreta dan nyetir mobil. Semua perjalanan kami ber-4 ini sepaket alias slalu bareng dan berbagi megangin anak-anak. Karena adaptasi lingkungan terutama karena suhu dan pindah-pindah tempat nginep, kami mengalami gangguan kesehatan secara gantian, sebenernya sesuai ekspektasi , gejala flu ringan sampai demam (saja) tanpa masalah berat lain. Memang cukup melelahkan (secara fisik) sih ya semua ini hehehehe, tapi skali lagi, Alhamdulillah ga ada masalah besar.
Dan walaupun kami banyak menggugurkan bucketlist kami terutama soal ketemuan sama temen-temen dan sodara. Alias ga smuanya ditakdirkan jodoh bisa ketemu karena adugile rasanya liburan ini liburan dengan jadwal terpadat yang pernah kami lalui, terutama untuk ngatur ketemuan sama handai-taulan. Dan setelah berhasil ketemuan itu kita slalu ngrasa betapa berharganya setiap momen hidup dan ketemuan langsung.
Kesimpulan kemarin: liburan mudik hampir 2 bulan itu pas banget sibuknya! kalo sebulan anjis sibuknya, kalo 1-2minggu itu untuk supersaiya saja.
Banyak hal "lain"
Saat baru sampai Surabaya, pagi-pagi ada kabar soal meninggalnya pakde saya karena kecelakaan. Cukup menghenyakkan karena beliau adalah pakde terdekat saya. Dan kami belum sempat bertemu (baru rencana ketemuan November) tapi takdirnya beliau meninggal dahulu. Kamipun saat itu bergegas ke Semarang 1 malam untuk melayat. Satu sisi walau kondisi berkabung, keluarga besar kami jadi berkumpul di rumah duka, dan justru jadi ajang silaturahmi bahkan banyak saudara dari keluarga besar saya yang sudah puluhan tahun tidak ketemu datang.
Saat kepulangan kembali ke Jepang sudah mendekat, saya dan genk SMA saya, (mereka adalah sahabat-sahabat saya) yang sulit banget nemu waktu untuk bertemu, akhirnya ditemukan dalam rumah duka pula. Anak dari salah satu sahabat saya meninggal mendadak (usia bayi), dan kami semua bertemu di rumah duka. Kok rasanya gini ya.. Betapa semua ini diatur semisteri ini.
Pelukan demi pelukan, senyum demi senyum, orang lama yang tidak berubah dan sudah berubah, ratusan cerita soal kabar terkini soal warung di pojokan, jalanan yang sudah jadi satu arah, resto dan kafe sebagai identitas baru di Semarang dan Surabaya. Makanan enak yang tak ada habisnya sampai rasanya tidak pernah perut ini terasa lapar. Suasana kacau jalanan saat menyetir atau berlari di kota sambil nostalgia memungut kenangan. Rasanya terlalu nyaman. terlalu. Jadi lumayan paham soal definisi dari "rumah".
Rasanya waktu panjang yang saya pakai untuk liburan ini, Uang yang dibayar dan dipakai untuk smua ini, waktu-waktu sulit terutama bepergian bersama anak-anak kami, dan semua hal yang secara materi kami buang dan kami pakai, rasanya sangat pantas, sangat pantas.
Tidak sedikit yang bertanya, apakah saya akan terus di Jepang nanti, kalo ditanya nyaman, saya nyaman banget disini karena mungkin fase adaptasi sudah dilewatin. Namun saya dengan refleks selalu menjawab, saya pasti akan pulang ke Indonesia, ke rumah saya. Saya tahu itu.
Hati saya ini hati yang biasa, yang bisa mellow juga, yang ringkih seperti kaca yang tipis. Berlama-lama di rantau itu menurut saya tidak membuat hati ini tambah kuat dan tebal. Semakin lama disini saya semakin ringkih dan semakin tahu kemana saya akan pulang, rumah saya yang mana. Setiap waktu , setiap nyawa, adalah taruhan ketika saya jauh dari rumah, jauh dari sahabat dan keluarga saya. Meninggalnya pakde saya, meninggalnya anak sahabat saya, membuat saya berkali-kali takut tidak bertemu orang-orang yang sudah menjadi bagian rumah saya, yang membuat saya ada sekarang.
Alhamdulillah saya sempat memeluk nenek-nenek saya yang masih ada, paman, bude, tante-tante saya, dan bukan hanya orang-orang tua, smua orang ga tau juga kapan habis "waktu" nya. Persis saat saya tahun lalu yang kayanya dekat sekali dengan kematian. Kita ini mahkluk sangat kecil, egois dan sangat tidak berdaya.
Kita tak pernah tahu, dan ga ada pilihan selain memeluk semua momen di hidup kita secara detail. Merasakan denyut setiap pagi, setiap udara dingin menusuk di musim dingin, setiap hujan badai di bulan Desember.
Hidup rantau itu mungkin seperti menyelam. Melihat batu karang dan keindahan beragam jenis keindahan lain dibawah laut. Tapi kita sadar itu bukan rumah kita, pada saatnya kita harus kembali ke rumah kita di darat. kembali dengan kekacauan di darat yang selalu kita rindukan tanpa sadar.
hehe kok saya jadi terhura ya haha